Ketika Komisi-Komisi DPRD Sumenep Kehilangan Peran Penting dalam Setiap Pembahasan Raperda APBD | Infored Ketika Komisi-Komisi DPRD Sumenep Kehilangan Peran Penting dalam Setiap Pembahasan Raperda APBD

Ketika Komisi-Komisi DPRD Sumenep Kehilangan Peran Penting dalam Setiap Pembahasan Raperda APBD

Minggu, 05 Oktober 2025, Oktober 05, 2025
Ketika Komisi-Komisi DPRD Sumenep Kehilangan Peran Penting dalam Setiap Pembahasan Raperda APBD


Pembahasan Raperda APBD Kabupaten Sumenep Tahun Anggaran 2026 mulai dibahas, Bupati Sumenep telah menyampaikan Nota Keuangannya pada Senin (6/10/2025), dan hal ini kembali menimbulkan perdebatan lama yang belum tuntas: siapa sebenarnya yang berhak membahas secara detail Raperda APBD tersebut nanti, komisi atau badan anggaran (Banggar)? Pertanyaan ini bukan sekadar teknis administratif, melainkan menyangkut esensi pengawasan dan transparansi keuangan daerah.

Di atas kertas, semua tampak jelas. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota telah mengatur dengan rinci pembagian tugas antar alat kelengkapan dewan. Bahkan, peraturan internal DPRD Sumenep juga telah menegaskan hal serupa. Namun dalam praktiknya, aturan itu seolah kehilangan makna. Komisi-komisi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pembahasan detail APBD justru tampak tersisih.

Kondisi ini berawal dari penafsiran yang keliru terhadap Pasal 17 ayat (3) PP 12/2018, yang dianggap memberi kewenangan penuh kepada Banggar untuk membahas Raperda APBD secara menyeluruh. Padahal, jika membaca secara komprehensif, pasal tersebut harus dipahami bersama dengan Pasal 54 yang mengatur batasan ruang lingkup Banggar. Dalam pasal itu disebutkan bahwa Banggar hanya memiliki wewenang membahas pokok-pokok kebijakan keuangan daerah dan sinkronisasi antar komisi, bukan pembahasan detail program atau kegiatan.

Artinya, pembahasan rinci terhadap Raperda APBD justru menjadi domain komisi-komisi DPRD. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 48 huruf b dan huruf d PP 12/2018, yang menyebutkan bahwa komisi memiliki tugas membahas Raperda serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perda, termasuk APBD. Tidak ada satu pun penjelasan dalam peraturan tersebut yang membatasi komisi hanya pada Raperda non-APBD.

Namun, dalam tradisi DPRD Sumenep, tafsir ini berjalan terbalik. Komisi-komisi hanya dilibatkan dalam tahap pembahasan KUA (Kebijakan Umum Anggaran) dan PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara). Padahal, dua dokumen itu belum termasuk dalam kategori Raperda. Setelah tahap itu, seluruh proses pembahasan detail beralih ke Banggar. Komisi hanya menjadi penonton, bukan pelaku aktif dalam menentukan arah anggaran daerah.

Praktik ini melahirkan ironi birokrasi. Dalam banyak kasus, Banggar justru mengundang kembali Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang sebelumnya telah membahas hal serupa dengan komisi. Akibatnya, terjadi duplikasi pembahasan yang tidak efisien. Rapat-rapat berulang dilakukan tanpa sinkronisasi hasil, sementara keputusan akhir cenderung diambil tanpa mempertimbangkan masukan komisi.

Menurut penelusuran penulis, salah kaprah ini muncul karena DPRD Sumenep menafsirkan Pasal 16 ayat (5) PP 12/2018 secara serampangan. Pasal tersebut menyebutkan bahwa Banggar dapat melakukan konsultasi dengan komisi. Sayangnya, istilah “konsultasi” justru dimaknai sebagai “pemberitahuan hasil pembahasan”, bukan pertukaran pikiran sebagaimana makna sebenarnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Konsultasi mestinya bersifat dialogis, memberi ruang bagi perdebatan dan penyamaan persepsi, bukan sekadar formalitas administratif.

Dalam konteks ini, problem yang dihadapi DPRD Sumenep bukan hanya soal siapa yang berwenang, tetapi juga menyangkut budaya politik dan tata kerja lembaga. Tradisi yang sudah lama dibangun membuat peran Banggar seolah lebih superior dibandingkan alat kelengkapan lainnya. Komisi, yang sesungguhnya menjadi inti fungsi legislasi dan pengawasan, berubah menjadi sekadar pelengkap dalam proses anggaran.

Jika dibiarkan, situasi ini dapat melemahkan prinsip check and balance di tubuh DPRD. Fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan APBD akan tumpul karena komisi kehilangan peran substantifnya. Padahal, komisi adalah pihak yang paling memahami kebutuhan dan permasalahan di sektor-sektor spesifik, karena mereka berinteraksi langsung dengan mitra kerja OPD masing-masing.

Sementara Banggar, sesuai PP 12/2018, hanya berfungsi sebagai penyelaras dan penyinkron antara hasil pembahasan komisi. Tugas utamanya bukan membahas detail teknis, melainkan memastikan bahwa kebijakan anggaran daerah sejalan dengan arah pembangunan dan kemampuan keuangan daerah.

Masalah ini sebenarnya bisa diatasi jika DPRD Sumenep mau membaca regulasi secara utuh, bukan sepotong-sepotong. Karena setiap pasal dalam PP 12/2018 saling berkaitan dan tidak bisa ditafsirkan berdiri sendiri. Penafsiran yang salah hanya akan menciptakan praktik yang salah pula.

Dalam konteks tata kelola pemerintahan daerah, pelibatan komisi dalam pembahasan APBD menjadi penting untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi publik. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam beberapa laporan hasil pemeriksaan di berbagai daerah juga menyoroti lemahnya fungsi komisi dalam pengawasan anggaran, yang kerap berujung pada rendahnya efektivitas belanja publik.

Maka, pembenahan bukan sekadar persoalan teknis legislatif, tetapi juga moral politik. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat harus memastikan bahwa proses pembahasan anggaran berjalan sesuai prinsip regulasi, bukan tradisi yang keliru. Sebab ketika fungsi komisi dilemahkan, maka kontrol publik terhadap penggunaan APBD juga ikut tergerus.

Kabupaten Sumenep memerlukan sistem pembahasan anggaran yang lebih terbuka dan berbasis regulasi. Dengan mengembalikan peran komisi sesuai amanat PP 12 Tahun 2018, DPRD bisa memperkuat fungsi legislasi dan pengawasan secara seimbang. Transparansi bukan hanya jargon, tetapi menjadi praktik nyata dalam tata kelola anggaran daerah.

Karena pada akhirnya, pembahasan APBD bukan sekadar urusan teknis antara Banggar dan TAPD, melainkan menyangkut hak publik untuk mengetahui ke mana arah pembangunan dan uang rakyat akan digunakan.





Sumber Rerefensi:

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota.
  2. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2024.
  3. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPD Kabupaten/Kota Tahun 2023.
  4. Tata Tertib DPRD Kabupaten Sumenep Tahun 2025.

TerPopuler